Kenapa Sih Tiap Putus Hubungan Tubuh Jadi Sakit Begini?

Putusnya hubungan, atau hanya putus, adalah pemutusan hubungan dengan cara apa pun selain kematian. Tindakan ini biasanya disebut "membuang seseorang".

Kenapa Sih Tiap Putus Hubungan Tubuh Jadi Sakit Begini?

Photo by Anthony Tran on Unsplash

Putus atau pisah atau bahasa kekiniannya break-up sudah pasti mempengaruhi emosi. Kita semua pernah berada di sana pada satu titik dalam hidup kita. Hari-hari yang mengerikan setelah hubungan kamu putus adalah ketika semua yang ingin kamu lakukan hanyalah naik ke tempat tidur dan tidak melakukan apapun. Lagi pula, putus hubungan memang tidak mudah.

Bicara soal reaksi emosional setelah hubungan putus tentu kamu banyak mendapatkan referensi dan penjelasan, terlebih cara mengatasinya. Karenanya kali ini kami ingin membahas tentang reaksi tubuh ketika kita mengalami putus atau pisah dengan orang yang biasanya menjadi orang terdekat di hidup kita.Lebih spesifiknya yang akan menjadi bahasan disini adalah sakit secara fisik bukan sakit secara mental atau psikis. Walaupun keduanya menurut para ahli mengaktifkan sensor bagian otak yang sama.

Penelitian Reaksi Tubuh Saat Putus

Pada sebuah penelitian, dengan sampel responden Sebanyak 40 orang yang baru saja mengalami putus hubungan yang tidak diinginkan, bagian otak mereka dipindai saat mereka melihat foto-foto mantan mereka dan memikirkan tentang perpisahan itu. Penelitian tersebut menganalisa reaksi mereka menatap foto-foto itu, bagian otak yang terkait dengan rasa sakit fisik bereaksi.

Penjelasan dari salah satu peneliti Ethan Kross, “Kami menemukan bahwa perasaan penolakan sosial yang didorong dengan kuat mengaktifkan daerah otak yang terlibat dalam sensasi rasa sakit fisik, yang jarang diaktifkan dalam studi neuroimaging tentang emosi.”

Photo by Fakurian Design on Unsplash

Dia melanjutkan, “Temuan ini konsisten dengan gagasan bahwa pengalaman penolakan sosial, atau kehilangan sosial secara lebih umum, dapat mewakili pengalaman emosional yang berbeda yang secara unik terkait dengan rasa sakit fisik.” Dengan dukungan lebih lanjut dari tumpang tindih antara rasa sakit fisik dan sosial, Tylenol (obat bebas untuk rasa sakit fisik) telah terbukti mengurangi rasa sakit emosional.

Penelitian telah menemukan bahwa orang yang menggunakan Tylenol (obat yang dijual bebas untuk nyeri fisik) selama tiga minggu melaporkan lebih sedikit rasa sakit dan rasa sakit sosial setiap hari dibandingkan mereka yang menggunakan plasebo.

Efeknya juga terlihat dalam pemindaian otak. Ketika perasaan penolakan diinduksi, bagian otak yang terkait dengan rasa sakit fisik menyala pada peserta yang tidak menggunakan Tylenol. Mereka yang menggunakan Tylenol menunjukkan aktivitas yang jauh lebih sedikit di bagian otak itu.

Photo by Rachael Gorjestani on Unsplash

Tidak ada yang menyarankan agar orang yang patah hati beralih ke obat penghilang rasa sakit untuk mengurangi kecenderungan mereka terhadap konsumsi coklat, es krim, milkshake, jus dan nonton film romantis berulang kali. Penggunaan jangka panjang akan merusak fungsi organ hati. Orang lain sedang menunggu untuk jatuh cinta denganmu, tetapi kamu masih belum bisa 'move-on'.

Dampak Putus Terhadap Sakit Secara Fisik

Otak manusia diciptakkan untuk mencintai dengan perasaan cinta. Jatuh cinta memang dapat membuka maupun menutup hormon bahagia, dopamin dan oksitosin.  Momen ini ibarat otak kita sedang berenang dalam kebahagiaan. Tetapi ketika kamu mengalami putus hubungan yang tidak diinginkan, pasokan hormon bahagiamu menurun dan otak melepaskan hormon stres seperti kortisol dan epinefrin.

Hormon stres memang diperlukan oleh kita, namun hanya dalam dosis yang kecil. Penggunaan hormon stress pada tubuh seseorang untuk memastikan kita merespons dengan cepat dan efektif terhadap ancaman. Namun tidak apabila memiliki dosis yang tinggi dan berdurasi berkepanjangan seperti kala putus hubungan. Hormon stres menumpuk dan menyebabkan masalah. Inilah yang ada di balik gejala fisik putus cinta.

Reaksi pertama, kortisol menjadi banyak pada otak. Penumpukan kortisol di otak berdampak darah terkirim dan berpusat dalam kelompok otot utama. Mereka tegang siap untuk merespon ancaman. Namun, tanpa kebutuhan nyata akan respons fisik, otot tidak memiliki kesempatan untuk mengeluarkan energi. Otot kemudian membengkak, menimbulkan rasa sakit di kepala, leher kaku dan perasaan tidak enak di dada.

Photo by Gabrielle Henderson on Unsplash

Selain itu, Kortisol juga memastikan otot memiliki suplai darah yang cukup. Darimana aliran darah dapat tercukupi? kortisol mengalihkan darah dari sistem pencernaan.Hal ini yang menyebabkan masalah perut seperti kram, diare atau kehilangan nafsu makan.

Ketika hormon stres merajalela, sistem kekebalan tubuh dapat berjuang, meningkatkan kerentanan terhadap serangga dan penyakit. Coba simak saja ketika stres tinggi, apakah kamu merasakan gatal oleh gigitan nyamuk dan memasukan jari tanpa cuci tangan akan membuat diare?  

Sebenarnya hormon stres yang wajar ketika putus menimbulkan pelepasan kortisol yang stabil. Walaupun dapat membuat masalah dan gangguan tidur serta penurunan kemampuan membuat keputusan yang baik. Selain itu putus hubungan juga memberikan sensor ke bagian otak yang memproses rasa keinginan lebih atau kecanduan. Makanya secara fisik tubuh dipaksa untuk terus menginginkan dan membutuhkan ‘mantan’.

Photo by Khoa Võ from Pexels

Jadi udah tau yah kenapa secara fisik kalian juga menginginkan ‘mantan’. Baik bertemu, menyentuh dan menempel dengan ‘mantan’ ketika sehabis putus akan membawa perasaan seperti kenyang saat lapar. Jangan biarkan rasa penyesuaian yang berlanjut yah, karena semakin berlanjut reaksi kimia tubuh akan semakin kecanduan. Padahal ‘mantan’ adalah hal yag tidak bisa kamu dapatkan kembali.

Putus dengan hubungan yang mempunyai jangka waktu panjang, akan membuat penyesuaian secara intim lebih lama. Penyembuhannya adalah dengan tetap melalui tanpa ‘mantan’ secara terus menerus sehingga reaksi kimia dalam tubuh yang menyebabkan sakit karena ‘mantan’ lambat laun menghilang dan tidak kecanduan kembali.