Masih Suka Pamer Kekayaan Pada Sosial Media? Harus Siap Terima Resiko Ke Depan
Mempertunjukan kekayaan dengan maksud untuk terlihat superior, memiliki status sosial dan ekonomi tinggi tidak hanya membuat jurang kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya semakin melebar, namun akan memberikan resiko bagi pelaku pamer harta kekayaan di masa yang akan datang. Sebuah fenomena yang kini dapat mudah terlihat di Indonesia, terutama di sosial media.
Baru-baru ini kasus penyiksaan anak di bawah umur yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo mengejutkan kita semua, sekaligus membuat beragam reaksi dari masyarakat yang tidak hanya berbuntut dari aksi kekerasan yang dilakukan. Masyarakat dan apparat pemerintah menyorot kebiasaan memamerkan harta kekayaan oleh Mario Dandy Satriyo, Rafaael Alun Trisambodo, dan Ernie Mieke pada platform sosial media, yang berujung mempertanyakan perolehan harta kekayaan mereka. Masyarakat Indonesia merasa disakiti oleh gaya hidup dan perilaku dari keluarga Rafael Alun Trisambodo, yang notabene merupakan seorang abdi negara.
Menyimak kasus tersebut perilaku pamer harta kekayaan bukan hanya gaya hidup orang yang berumur, namun juga sudah merebak pada anak usia muda. Tidak hanya ayah dan ibu, namun anak yang masih berusia puluhan tahun juga gemar memamerkan harta kekayaan yang dimiliki. Hal yang disayangkan adalah gaya hidup memamerkan sesuatu yang tidak membawa dampak positif bagi masyarakat namun semakin mempertebal jurang kesenjangan sosial dan ekonomi.
Apakah orang kaya di negara maju gemar melakukan pamer kekayaan mereka? Terlebih memamerkan di sosial media? Mungkin fenomena pamer harta kekayaan merupakan kebiasaan yang lazim ditemukan di Indonesia. Fakta dari fenomena orang kaya di negara maju tidak lagi memamerkan jam tangan mahal yang berkilau dan tas tangan luxurious. Para orang kaya berinvestasi lebih banyak pada pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan Kesehatan merupakan simbol status kekayaan baru dan bijaksana.
Memamerkan kekayaan harta merupakan perilaku using bagi orang kaya di negara maju. Perilaku using yang identik dengan menghiasi tubuh dengan kilauan berlian, mengendarai mobil mewah yang mencolok. Perubahan perilaku dari orang kaya di negara maju menjadi lebih berhati-hati dengan tidak memperlihatkan kekayaan dan harta yang mereka miliki secara terbuka. Bahkan memamerkan kekayaan bukan menjadi kebiasaan atau perilaku pada orang yang memiliki kekayaan bersih yang sangat tinggi.
Photo source: ElCorreo.com
Salah satu orang dengan kekayaan bersih sangat tinggi, Jeff Bezos, dengan nilai kekayaan bersih sebesar 116,7 miliar dollar Amerika. Meskipun memiliki harta yang melimpah namun tautan berita mengenai dirinya banyak menginspirasi dari kecerdasan, motivasi, dan inspirasi bagi orang lain. Kaum miliarder negara maju banyak memilih untuk menghabiskan dan memfokuskan akan keamanan dan privasi, melakukan bisnis dari rumah di puncak bukit dengan lingkungan yang tersembunyi dari pantauan peta digital Google Street View.
Para miliarder menyadari, kini merupakan era di mana kelas atas dan kelas menengah dapat memiliki merek mewah yang sama. Sehingga para orang kaya meninggalkan berinvestasi pada baran-barang konsumsi, namum berinvestasi pada hal immaterial sebagai cara untuk menandakan status. Seorang penulis buku, Elizabeth Currid-Halkett menyebutnya dengan sebutan "Inconspicuous Consumption.” Inconspicuous consumption merupakan konsumsi yang tidak terlihat mata seperti kala kita menghabiskan uang untuk kebutuhan kita sendiri, seperti berlibur ke luar negeri. Sedangkan konsumsi yang terlihat kasat mata kala kita membeli barang-barang materialistis yang dapat ditunjukan kepada orang lain sebagai kekayaan kita.
Photo by Christophe Meyer on Unsplash
Kembali pada resiko memamerkan kekayaan pada postingan sosial media. Pamer kekayaan tidak hanya membahayakan subyek yang melakukan pamer kekayaan namun juga pada orang yang melihat perilaku pamer orang lain. Baik keduanya tidak dapat menahan gelombang negatif yaitu arogansi bagi pelaku pamer kekayaan dan kedengkian bagi yang melihat perilaku pamer kekayaan. Tidak heran mengapa timbul perpecahan dan ketidakharmonisan sosial.
Sebuah studi yang ditulis bersama oleh Bailey dan Sandra Matz, profesor bisnis di Columbia Business School, para peneliti mengumpulkan data dari lebih dari 10.000 pengguna Facebook dan menemukan bahwa responden yang menggambarkan diri mereka sendiri apa adanya atau otentik memiliki tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan responden yang berusaha untuk mempengaruhi orang lain menilai seperti yang diinginkan. Terlebih keinginan penilaian tersebut dilakukan dengan memamerkan barang material.
Photo by Noah Buscher on Unsplash
Pelaku pamer kekayaan kerap tidak menyadari bahwa potensi dari memamerkan kekayaan di sosial media juga kerap tidak membantu meningkatkan image diri seperti yang diinginkan oleh pelaku pamer kekayaan. Sebuah hal yang sia-sia dilakukan dan tidak mencapai suatu hal apapun. Meskipun status ekonomi pelaku pamer kekayaan memang benar adanya sebagai kaum kelas atas, kepuasan yang pelaku pamer kekayaan dapat dari memamerkan kekayaan tidak bernilai sebanding dengan perasaan betapa cemburunya orang di luar sana terhadap postingan sombong kamu di sosial media.
Kecemburan yang semakin membuat penolakan sosial untuk mendekati pelaku pamer kekayaan. Lambat laun menjadi sebuah dendam membara yang siap meledak, yang siap menjadi senjata ketika pelaku mengalami permasalahan sosial, hukum, dan norma lainnya yang berlaku. Persis seperti yang terjadi pada kasus Mario Dandy Satriyo, tidak hanya permintaan masyarakat yang menuntut keadilan atas perbuatan kekerasan terhadap anak di bawah usia, namun pengusutan perolehan kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya. Masih ingin flexing atau bragging atau show-off atau pamer kekayaan di sosial media?